InstruksI Larang Ikut Retret : Megawati Mensabotase Rakyat Daerah

oleh

Al Ghozali Hide Wulakada
Pakar Hukum Tata Negara

Instruksi Ketua Umum PDIP, Megawati kepada seluruh Kepala Daerah terpilih dari usungan PDIP agar tidak hadir dalam agenda retret di Magelang. Instruksi tersebut berkenaan dengan sebab penahanan Sekjen PDIP, Hasto Kristanto oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Fokus tatanegara bukan pada soal penahanan Hasto, bukan juga pada soal retret, tetapi pada soal Instruksi Harian Ketum PDIP, melalui surat nomor 7294/In/DPP/II/2025. Beberapa isu ketatanegaraan dalam hal tersebut : (1) Apa dan bagaimana hubungan Kepala Daerah dan Presiden dalam system Negara kesatuan. (2) Apa dan bagaimana urgensi Partai politik terhadap eksistensi Kepala Daerah yang dilahirkan dari Pemilukada langsung. (3) Apa implikasi hukum dan politik dari instruksi tersebut.

Presiden sebagai kepala Pemerintah pusat tetap memiliki kewenangan tertinggi dalam hirarki kekuasaan. Presiden tetap memiliki kontrol dan pengawasan terhadap kepala daerah, meskipun mereka dipilih langsung oleh rakyat. Sistem otonomi seluas-luasnya berlaku dalam prinsip dekonsentrasi dan tugas pembantuan, hubungan pusat dan daerah didasarkan pada prinsip desentralisasi administratif, tetapi dengan pengawasan dan koordinasi dari presiden untuk menjaga kesatuan negara. Presiden memiliki pembantu yaitu Mentri Dalam Negeri, berlaku sebagai remot control jabatan dan fungsi kepala daerah. Sistem kesatuan menempatkan Presiden tetap memiliki pengaruh terhadap kebijakan daerah, terutama dalam bidang politik, keamanan, dan kebijakan strategis nasional.

Tindakan Megawati dalam surat instruksi tersebut patut dilihat sebagai hegemoni partai politik bersifat kontrol ideologis, politik, serta structural. Ketum dan para politisi di PDIP sebaiknya baca teori hegemoni Antonio Gramsci, tentang bagaimana kelompok dominan mempertahankan kekuasaannya melalui persetujuan dan kontrol ideologis. Hegemoni Partai seperti demikian berdampak pada demokrasi dan representasi public yaitu : (1) dampak positif yaitu mencegah perpecahan internal dan menguatkan kebijakan yang kohesif. Partai semakin stabil dalam keputusan. (2) dampak negatif yaitu mengurangi independensi kader, menyebabkan oligarki politik, di mana kepentingan elite partai lebih dominan dibanding kepentingan public, membungkam perbedaan pendapat dan menurunkan kualitas demokrasi deliberatif.
Hegemoni Partai politik telah menjadi cikal bakal patologi demokrasi. Realitas demikian berlaku sebaliknya juga pada Partai politik pemenang Pemilu berserta koalisi besar yang menghegemoni kebijakan sesuai selera politik mereka. Dua keadaan serupa tidak sehat dalam konteks negara kesatuan dan negara hukum.

Mengatasi permasalahan demikian diperlukan langkah tegas dan mendalam yaitu : (1) Reformasi sistem pemilu untuk memberi ruang lebih besar bagi independensi kader Partai yang menduduki jabatan public seperti Presiden, Kepala Daerah dan anggota Dewan. (2) Transparansi dalam pengambilan keputusan partai agar lebih partisipatif. Sistem Pemilu kita memang sejak awal sudah cacat konstitusional berupa memanipulasi asas langsung. Jabatan inti Pemerintahan seperti Presiden dan kepala daerah itu rakyat memilih usungan Partai politik dan DPR dan DPRD itu rakyat memilih calon yang diajukan Partai. Artinya, rakyat memilih Partai bukan orang. Jadi kita berdebat soal proporsionalitas, system kita telah mengajar proporsionalitas tertutup secara substansial.

Presiden, kepala daerah, anggota dewa sejak terpilih langsung oleh rakyat maka sejak itu mereka menjadi milik rakyat bukan milik Partai. Rakyat yang dimaksud itu bukan anggota dan konstituen politik Partai, tetapi seluruh warga masyarakat Indonesia. Dalam teori asosiasi politik, Partai itu bukan masyarakat tetapi sekedar komunitas yang melakukan agency politik. Partai politik itu juga sekedar sebagai alat panjatan menuju kekuasaan. Besarnya biaya politik menyebabkan warga kelas tertentu saja yang bisa menembus ke lingkaran itu. Kekuasaan yang didominasi orang kaya melahirkan plutokrasi. Dalam plutokrasi, kebijakan politik dan pemerintahan cenderung menguntungkan kelas kaya atau elite ekonomi, sering kali dengan mengorbankan kepentingan masyarakat luas. Plutokrasi bisa terjadi dalam berbagai bentuk, baik dalam sistem demokrasi maupun otoritarianisme, ketika kekuatan ekonomi sangat mempengaruhi keputusan politik.

Sikap Megawati melarang kepala daerah ikut dalam agenda nasional seperti retret itu memperlihatkan PDIP sebagai Partai yang kaku. Partai kaku itu ciri khasnya seperti hierarki ketat, dogmatis & ideologis keras, minim demokrasi internal, susah beradaptasi dengan perubahan, eksklusif & tidak terbuka, cenderung otoriter, menolak aliansi atau koalisi yang fleksibel. Kekakuan Megawati menyebabkan konflik daerah dan pemerintah pusat sehingga berdampak pada kepentingan rakyat di daerah. Dampak politik seperti ketidakstabilan pemerintahan daerah, pelemahan kewibawaan kepala daerah, polarisasi Politik lokal. Dampak administrasi birokrasi seperti, terhambatnya program pembangunan, pemangkasan anggaran daerah, birokrasi tidak efektif. Dampak ekonomi seperti menurunnya investasi, pelambatan pertumbuhan ekonomi, pemutusan Dana Transfer. Dampak sosial keamanan seperti keresahan masyarakat, munculnya gerakan separatis atau oposisi lokal, ketidakpastian dalam pelayanan publik. Jika konflik tersebut dimulai dari sikap sentral Partai maka serupa dengan Partai mensabotase rakyat. (Oe)

No More Posts Available.

No more pages to load.