INDONNESIANEWS–Self-harm, atau perilaku melukai diri sendiri, adalah tindakan sengaja melukai tubuh tanpa adanya niat untuk mengakhiri hidup. Fenomena ini sering kali dihubungkan dengan kondisi psikologis seperti depresi, kecemasan, trauma emosional, dan gangguan kontrol emosi. Meski lebih umum terjadi pada remaja dan dewasa muda, self-harm dapat terjadi pada berbagai kelompok usia.
Menurut survei oleh YouGov Omnibus yang dikutip Thesalonika dan Apsari (2022), sebanyak 36,9% responden di Indonesia mengaku pernah melakukan self-harm. Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi fenomena ini, mempelajari faktor pemicunya, serta menganalisisnya berdasarkan teori psikologi guna memahami penyebab dan solusi yang dapat diterapkan.
Self-Harm: Apa dan Mengapa?
Menurut Thesalonika dan Apsari (dalam Jenny, 2016) perilaku self-harm atau self-injury tersebut merupakan suatu bentuk perilaku yang dilakukan untuk mengatasi tekanan emosional atau rasa sakit secara emosional dengan cara menyakiti diri sendiri tanpa bermaksud untuk melakukan bunuh diri.
Perilaku self-harm yang paling sering dilakukan ialah mengiris atau menyayat kulit menggunakan silet atau benda tajam lainnya (self-cutting). Selain itu, self-harm juga terjadi dalam bentuk membakar tubuh, memukul, mengorek bekas luka, menjambak rambut, juga mengonsumsi zat-zat beracun.
Definisi lain menyatakan bahwa non-suicidal self-injury (NSSI) didefinisikan sebagai perilaku melukai diri sendiri yang disengaja, yang dapat menyebabkan pendarahan, memar, dan rasa sakit yang ditunjukan untuk menyebabkan kerusakan tubuh yang ringan tanpa disertai niat untuk bunuh diri (APA, 2013). Dari kedua definisi tersebut, terdapat kesamaan dimana perilaku atau tindakan self-harm bukanlah perilaku yang bertujuan untuk mengakhiri hidup atau bunuh diri pada berbagai kalangan.
Fenomena Self-Harm di Indonesia
Menurut narasumber SL (20), “Saya merasa banyak tekanan yang saya emban sendiri, rasanya jika ingin mengeluh kepada teman dan keluarga, tapi mereka juga pasti merasa lelah seperti saya juga, akhirnya saya memilih untuk memendam sendiri.” Mengenai perasaannya SL mengatakan, “Saat saya melakukan cutting, setidaknya saya merasa lega untuk beberapa saat.”
Alasan SL melakukan hal tersebut adalah, “Karena selalu memendam perasaan dan sulit untuk diungkapkan rasanya ingin meledak, saya merasakannya di momen ketika saya menghadapi masalah keluarga dan pekerjaan yang cukup berat dan di waktu yang bersamaan, ditambah faktor merantau kemudian terpaksa pulang ke rumah membuat saya merasa semakin kacau, dan saya merasa tidak dipedulikan. Kemudian ketika saya melakukan self-harm, emosi saya yang tadinya 100%, berkurang menjadi 50%-30% setelah melakukan itu.”
Mengenai penyesalannya, SL mengungkapkan, “Setelah merasakan perasaan tersebut, saya pasti menyesal, kenapa saya tidak berusaha keluar dari lingkungan itu? Karena saya merasa setelah keluar dari rumah ternyata hidup di luar lebih baik. Di luar, saya merasa ada lebih banyak orang yang peduli.”
SL juga menerapkan terapi perilaku dengan mendekatkan diri dan mencari lingkungan yang lebih mendukung.
Survei Self-Harm Terhadap Anak Indonesia (2013) menunjukkan:
Remaja 18-24 tahun:
6,06% melukai diri akibat kekerasan fisik.
42,9% melukai diri akibat kekerasan emosional.
Remaja perempuan 13-17 tahun:
13% melaporkan self-harm akibat kekerasan fisik.
Prevalensi remaja perempuan usia 13-17 tahun yang melaporkan self-harm dalam 12 bulan terakhir mencapai 13%, sebagian besar terkait kekerasan fisik.
Faktor Pemicu Self-Harm
Pengaruh Media Sosial
Paparan konten negatif atau normalisasi self-harm di media sosial dapat mendorong individu melakukannya sebagai bentuk ekspresi atau mengikuti tren.
Kesepian dan Keterasingan Sosial
Kurangnya dukungan sosial, hubungan buruk dengan keluarga, atau lingkungan yang tidak mendukung meningkatkan risiko self-harm.
Kesulitan Mengelola Emosi
Remaja dengan gangguan pengendalian emosi cenderung menggunakan self-harm sebagai mekanisme mengatasi stres atau rasa sakit emosional.
Analisis Psikologis Self-Harm
1. Emotion Regulation Theory
Self-harm digunakan untuk mengatur emosi negatif yang intens. Nock dan Prinstein (2004) menyatakan bahwa perilaku ini sering dilakukan untuk meredakan tekanan emosi. Meskipun memberikan kelegaan sementara, self-harm tidak menyelesaikan masalah emosional mendasar.
2. Negative and Positive Reinforcement Theory
Menurut Chapman, Gratz, dan Brown (2006), self-harm berfungsi sebagai mekanisme penguatan:
Penguatan negatif: Mengurangi rasa tidak nyaman emosional.
Penguatan positif: Memberikan sensasi atau pelepasan endorfin yang dapat memberikan “kelegaan”.
3. Interpersonal-Psychological Theory of Suicidal Behavior (IPTS)
Meskipun dikembangkan untuk memahami bunuh diri, teori ini juga relevan untuk self-harm. Menurut Thomas Joiner (2005), perilaku ini dapat meningkatkan toleransi terhadap rasa sakit, yang pada akhirnya memperbesar risiko ide bunuh diri.
4. Neurosains tentang Regulasi Emosi
Penelitian menunjukkan bahwa individu yang cenderung melakukan self-harm memiliki aktivitas otak yang berbeda, terutama di amigdala dan korteks prefrontal. Bagian otak ini bertanggung jawab untuk mengatur impuls dan emosi.
Upaya Mengurangi Perilaku Self-Harm
Mencari Dukungan
Bercerita kepada orang terpercaya, seperti keluarga, teman, atau psikolog, dapat membantu mengurangi beban emosional.
Melakukan Kegiatan Positif
Mengalihkan perhatian dengan aktivitas seperti olahraga, seni, atau musik dapat menjadi cara yang efektif.
Meningkatkan Komunikasi Keluarga
Lingkungan keluarga yang suportif dan komunikasi yang baik dapat mencegah perilaku self-harm.
Terapi Perilaku (Behavioral Therapy )
Terapi ini bertujuan meningkatkan kemampuan mengelola emosi, membangun kepercayaan diri, dan mengatasi rasa kesepian.
*Noor Husnaya Kanz, mahasiswa Unika Fakultas Psikologi, Semarang